Minggu, 15 Januari 2017

Budaya suku minahasa

Kebudayaan Minahasa

Posted: 29 April 2013 in Uncategorized
Tag:, , , , , , , ,
0
Mengenal Suku Minahasa
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan suku-suku dengan budayanya masing-masing. Sebagai anak-anak bangsa, kita perlu mengetahui dan mengenal setiap suku dan budaya yang ada. Salah satu suku di Indonesia adalah suku Minahasa di pulau Sulawesi. Suku Minahasa adalah salah satu suku bangsa yang terdapat di Sulawesi Utara, Indonesia. Suku Minahasa merupakan suku bangsa terbesar di provinsi Sulawesi Utara. Suku Minahasa terbagi atas beberapa
Etnografi suku Minahasa
Lokasi
Minahasa terletak di bagian timur-laut jazirah Sulawesi Utara, di antara 0 derajat 51’ dan 1 derajat 51’ 40’ lintang Utara dan 124 derajat 18’ 40’ dan 125 derajat 21’ 30’ bujur Timur. Luas Minahasa 5273 Km², sedangkan luas wilayah pulau-pulau sekitarnya 169 Km². Daerah Minahasa termasuk juga dengan beberapa pulau kecil di bagian Utara, seperti pulau Manado Tua, Bunaken, Siladen, dan Naen. Tetangga-tetangga Minahasa ialah Sangir Talaud di bagian Utara dan Bolaang Mongondow di bagian selatan.
Lingkungan alam
Kawasan Minahasa berupa daerah vulkanik muda. Sifat-sifat khasnya ialah pelbagai tepi gunung yang curam, diselingi oleh sungai-sungai kecil yang mengering sesudah mengalir cepat dan singkat ke laut. Di Minahasa terdapat empat gunung tinggi yang penting, yaitu Kalabat di Utara, Lokon dan Mahawu di tengah, dan Soputan di Selatan. Selain juga ada beberapa gunung lain, yakni gunung Dua Saudara, Masarang, Tampusu, Manimporok, Lolombulan, Lengkoan, dan pegunungan Lembean. Sungai-sungai yang terdapat di Minahasa, antara lain sungai Tondano, Ranoyapo, Poigar, dan sebagainya. Di tengah Minahasa terdapat suatu dataran tinggi (700m) dengan danau Tondano di tengahnya. Di daerah itu dan di wilayah-wilayah datar lainnya ditanami padi pada wilayah yang beririgasi, jagung di tebing-tebing gunung beserta sayur-mayur, kelapa di sepanjang pantai dan pohon cengkeh di wilayah yang lebih tinggi. Iklim Minahasa tropis dan basah, dengan curah hujan rata-rata 2.000 sampai 4.000 mm. Dalam satu tahun terdapat dua musim, yakni musim hujan yang berlangsung sejak bulan Oktober sampai Maret dan musim panas dari bulan April sampai September.
Orang Minahasa menyebut diri mereka orang Manado atau Touwenang (orang Wenang), orang Minahasa, dan juga Kawanua. Masyarakat asli Minahasa terbagi ke dalam 8 sub-etnik atau suku bangsa, yakni:
  • Tonsea; terdapat di sekitar Timur Laut Minahasa.
  • Tombulu; terdapat di sekitar Barat Laut danau Tondano.
  • Tontemboan/Tompakewa; terdapat di sekitar Barat Daya Minahasa.
  • Toulour; terdapat di bagian Timur dan pesisir danau Tondano.
  • Tonsawang; terdapat di bagian tengah dan Selatan Minahasa.
  • Pasan atau Ratahan; terdapat di bagian Tenggara Minahasa.
  • Ponosakan; di bagian Tenggara Minahasa.
  • Bantik; terdapat di beberapa tempat di pesisir Barat Laut Utara dan Selatan kota Manado.
Pola perkampungan desa di Minahasa bersifat menetap, mengelompok, dan padat. Kelompok rumah-rumah dalam desa memanjang mengikuti jalan raya. Rumah tradisional berbentuk panggung dengan tinggi 5-10 meter, dengan maksud untuk menghindari gangguan binatang buas dan gangguan musuh, misalnya perampok-perampok yang datang dari luar daerah seperti dari kepulauan Mindanauw, orang Tidore, dari Maluku, dan orang Bajo/Wajo.
Asal Mula dan Sejarah
Sejak tahun 1970-an muncul pertanyaan di kalangan masyarakat Minahasa sendiri tentang yang manakah budaya asli mereka. Orang Minahasa sendiri tidak mengetahui dengan jelas asal-usul sejarahnya, selain dari cerita mitos tentang Toar dan Lilimut. Penduduk Minahasa baik di kota maupun di desa pada umumnya tidak memperlihatkan lagi unsur-unsur budaya asli seperti dalam suku-suku bangsa lain di Indonesia. Hal ini disebabkan karena perubahan sejarah yang cepat sejak perjumpaan dengan orang-orang Eropa, khususnya pada periode pemerintahan kolonial Belanda di abad ke-19. Masuknya kebudayaan asing di Minahasa sesungguhnya telah dimulai pada abad ke-16 dengan kedatangan orang Spanyol yang kemudian digantikan oleh Belanda setelah kalah perang pada tahun 1660. Pengaruh kehadiran orang Spanyol yang bertahan hampir seabad di Minahasa masih tampak hingga saat ini, antara lain dalam aspek bahasa ada beberapa kata yang tak lain ialah bahasa Spanyol (nyora, kawayo). Selain itu, pakaian yang dianggap orang Minahasa sebagai pakaian adat (patung kurengkeng dan saraun di Tondano) tak lain adalah pakaian ala Spanyol. Bersamaan dengan masuknya bangsa Spanyol, masuk pula unsur-unsur agama Katolik yang mula-mula dibawa oleh Pater Diego de Magelhaens dan kemudian oleh misionaris lainnya. Penginjilan oleh misionaris Katolik kemudian diganti oleh para pendeta Protestan akibat peralihan kependudukan dari Spanyol ke Belanda. Tahun 1675, pendeta Montanus mengadakan penginjilan di Minahasa, diikuti oleh J.G Schwars dan J.C Riedel pada tahun 1831. Berkuasanya Belanda di Minahasa juga membawa unsur-unsur kebudayaan lain bagi penduduk Minahasa, antara lain bahasa, cara-cara berpakaian, sistem pemerintahan, sistem pengetahuan, pendidikan, kesehatan, peralatan, pengangkutan, dan sebagainya.
Proses perubahan yang dialami oleh suku bangsa Minahasa akibat kontak dengan masyarakat luar dapat dilihat juga dari beberapa nama yang diberikan bagi daerah ini. Dahulu kawasan ini disebut dengan Malesung (lesung padi), lalu Se Mahasa (mereka yang bersatu) tetapi kemudian kedua nama ini menghilang. Kini daerah ini dikenal dengan Minahasa (dipersatukan). Nama Minahasa pertama kali muncul dalam dokumen Belanda pada tahun 1789 dan lambat laun diterima sebagai nama resmi. Pernah pada tahun 1970-an muncul suatu julukan yaitu ‘Bumi Nyiur Melambai’, dan lagi pada tahun 1990-an ‘Tanah To’ar dan Limumu’ut’.
Bahasa
Dalam hidup harian, suku Minahasa biasa menggunakan bahasa Indonesia yang dipadukan dengan logat Melayu Manado atau yang disebut bahasa Melayu Manado. Bahasa ini adalah bahasa umum yang dipergunakan dalam komunikasi antar orang-orang dari sub-sub etnik Minahasa maupun dengan penduduk dari suku-suku bangsa lainnya. Di daerah perkotaan, orang memakai Melayu Manado sebagai bahasa ibu, menggantikan bahasa pribumi Minahasa. Pengaruh Melayu Manado ini juga sudah mulai terlihat di desa-desa. Generasi terakhir sudah kurang mengetahui bahasa pribumi mereka. Proses indigenisasi Melayu Manado ini berlangsung dengan pesat dan membentuk suatu ciri identitas etnik dan bagian dari sistem budaya Minahasa.
Mengenai bahasa pribumi, di Minahasa terdapat 8 bahasa sesuai dengan jumlah sub etnik suku Minahasa, yakni bahsa Tombulu, Tonsea, Tondano (Toulour), Tontemboan, Tonsawang, Pasan (Ratahan atau Bentenan), Ponosakan, dan Bantik. Ketiga yang terakhir ini dekat dengan bahasa Sangir-Talaud, sedangkan lima bahasa yang besar lainnya berasal dari satu rumpun, yaitu Proto-Minahasa. Bahasa Tontemboan kini mempunyai pengguna terbanyak, diikuti dengan bahasa Tombulu, Tondano di posisi ketiga dan kemudian Tonsea. Dahulu bahasa Tombulu dipakai dalam nyanyian, puisi, doa dan peribahasa di seluruh Minahasa, tetapi sekarang ini jumlah pemakainya sudah berkurang dan kenyataan membuktikan bahwa banyak orang Tombulu tidak lagi menggunakannya. Sebaliknya, bahasa Tonsea dan Tontemboan kini sedang naik pamor dan dipakai secara aktif dan terbuka di muka umum.
Sistem Teknologi
Seiring dengan perkembangan jaman, teknologi dalam setiap suku bangsa pun semakin berkembang. Di Minahasa, sama seperti di daerah-daerah lainnya di Indonesia, sistem teknologi dan penggunaan alat-alat tradisional sudah semakin menghilang diganti dengan alat-alat modern buatan pabrik. Namun, dalam bagian ini penulis berusaha memasukkan daftar alat-alat tradisional yang dahulu dipakai oleh masyarakat suku Minahasa atau mungkin juga masih dikenal atau digunakan oleh masyarakat Minahasa dewasa ini di tempat-tempat tertentu. Alat-alat tersebut mulai dari alat-alat rumah tangga sampai alat-alat yang digunakan untuk bekerja dan berperang.
  1. Alat-alat rumah tangga: masih sering dijumpai di desa-desa, antara lain nihu (penampi beras/padi), loto (bakul), poroco (jenis bakul), rueng (belanga), rumping (belanga goreng), ramporan (dodika/tempat memasak), tampayang (tempayan), mauseu/nuuseu/naaweyen/sincom (tempat nira dari bambu), salangka (peti tempat menyimpan barang berharga), tepe (tikar), patekelan/panteran/koi (tempat tidur), piso (pisau),dan lisung (lesung).
  2. Alat-alat pertanian: beberapa alat yang selalu dipakai penduduk dalam pertanian seperti, pajeko (bajak), sisir, pacol (pacul), sekop (tembilang), peda (parang), sambel (sabel), dan pati/tamako (kapak).
  3. Alat-alat perburuan: alat-alat yang dahulu sering digunakan dalam perburuan, antara lain tumbak (tombak), sumpit (senjata untuk burung saja), wetes/dodeso (jerat), sassambet (semacam jerat), dan sinapang (senapan).
  4. Alat-alat perikanan: alat-alat yang digunakan oleh masyarakat Minahasa yang berprofesi sebagai nelayan, yakni perahu sampan, perahu giob (lebih besar dari sampan), pelang (lebih besar dari giob), soma (pukat besar), pukat, hohati (kail), nonae (umpan), sosoroka (semacam tombak yang khusus dipergunakan di danau), rompong (rumah di atas air yang telah dipasang dengan jala), sesambe (berbentuk seperti layar kecil untuk menangkap ikan-ikan kecil), dan sero babu yang telah dianyam untuk membungkus ikan.
  5. Alat-alat peternakan: alat-alat yang digunakan dalam beternak. Alat-alat ini tidak terlalu banyak terdapat di Minahasa dikarenakan peternakan merupakan pekerjaan sambilan saja. Alat-alat tersebut antara lain: lontang tempat makanan babi, roreongan atau sangkar ayam.
  6. Alat-alat kerajinan: alat-alat yang digunakan dalam kerajinan masyarakat. Alat-alat ini merupakan campuran dari alat-alat asli buatan orang Minahasa dan alat-alat yang datang dari luar (yang berbahan logam). Beberapa alat buatan penduduk antara lain, kekendong (alat pemintal tali yang terbuat dari bambu atau kayu), jarong katu (penjahit atap yang juga dibuat dari bambu atau kayu), gelondong atau jarong benang bambu, martelu (martil yang dibuat dari kayu), sarong peda (sarung parang yang terbuat dari kayu, bambu, dan pelepah pinang).
  7. Alat-alat transportasi: alat-alat perhubungan yang digunakan oleh masyarakat Minahasa, antara lain roda sapi, bendi, sampan atau perahu (ada beberapa jenis), dan rakit.
  8. Alat-alat peperangan, yakni alat-alat yang dipakai oleh masyarakat Minahasa dahulu dalam berperang, antara lain kelung (tameng), santi (pedang), kiris (keris), tumbak, pemukul, tamor (tambur), tettengkoren (tubuh dari bambu), pontuang (alat tiup dari kulit kerang), kolintang (dibuat dari perunggu yang sama dengan alat musik Gamelan Jawa), dan gong.
  9. Alat-alat untuk menyimpan, antara lain godong (gudang di bagian bawah rumah untuk menyimpan hasil-hasil produksi), cupa (volumenya hampir tiga liter, terbuat dari bambu), gantang (volumenya 27 liter, terbuat dari kayu), walosong (tempat menyimpan makanan, terbuat dari bambu), dan para-para (sejenis meja dari bambu tempat menaruh alat-alat dapur).
Sistem Mata Pencaharian
Beberapa mata pencaharian masyarakat Minahasa yang dibahas penulis dalam tulisan ini, yakni:
  1. Berburu/meramu
Pada zaman dahulu jenis mata pencaharian ini merupakan salah satu mata pencaharian pokok, tetapi kini tidak lagi ditemukan dalam masyarakat Minahasa. Sudah sejak lama masyarakat Minahasa mampu menggarap tanah dan mengusahakannya bagi kehidupan mereka. Dahulu di beberapa tempat masyarakat mempunyai mata pencaharian berburu babi hutan, babi rusa (langkow), sapi hutan/anoa, dan rusa. Demikian pula penduduk peramu pada zaman dahulu ada yang meramu damar, rotan, dan sebagainya. Kini, berburu hanya merupakan pekerjaan sambilan atau hanya untuk mencari kesenangan saja.
2.   Pertanian
Sektor ini merupakan mata pencaharian pokok masyarakat Minahasa dalam arti bahwa pertanian menempati urutan teratas atau merupakan mayoritas sumber ekonomi masyarakat. Sudah sejak masa sebelum Perang Dunia II berkembang perkebunan rakyat dengan tanaman-tanaman industri, terutama kelapa, cengkeh, kopi, dan pala. Sekarang ini komoditi pertanian lain, yaitu coklat, vanili, jahe putih, dan jambu mente mulai digiatkan secara intensif dengan metode dan teknologi modern. Tanah pertanian – sawah atau ladang – di Minahasa dimiliki baik oleh perorangan/milik sendiri (pasini) yang diperoleh berdasarkan warisan atau pembelian maupun secara bersama (kalekeran) yang digarap secara mapalus.
Sistem bercocok tanam di ladang (uma atau kobong kering) biasanya bersifat menetap dan ditanami jagung sebagai tanaman pokok dan diselingi dengan padi ladang, sayur-sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan, umbi-umbian dan rempah-rempah.
3.   Perikanan
Perikanan merupakan salah satu sektor mata pencaharian yang berkembang baik dalam masyarakat Minahasa. Hal ini didukung oleh program-program pemerintah yang mendirikan Balai-balai Benih Ikan (BBI) di beberapa daerah di Minahasa. Selain itu, juga ada peralihan usaha perikanan semakin produktif, misalnya dengan ‘motorisasi’ perahu penangkap ikan. Sama seperti di daerah-daerah lainnya, penduduk Minahasa yang bermukim di pesisir-pesisir pantai mempunyai mata pencaharian pokok menangkap ikan. Usaha pemerintah dalam dalam memajukan sektor perikanan laut terlihat di daerah Aertelaga, dengan mendirikan lembaga usaha penangkapan dan pengolahan ikan cakalang. Berbagai jenis ikan yang juga ditangkap antara lain, tongkol, roa (julung-julung), sardin (japuh), kembung, ikan layang (mamalugis), ikan batu, dan kura-kura (tuturuga). Hasil perikanan baik darat maupun laut ini kemudian dibawa ke pasar-pasar di ibukota kecamatan, kabupaten, atau ke Manado yang kemudian dibawa juga ke daerah-daerah lain di luar Minahasa.
4.   Peternakan
Peternakan tidak terlalu memegang peranan penting sebagai sumber ekonomi masyarakat Minahasa. Ternak yang dipelihara dalam masyarakat Minahasa berupa sapi, babi, ayam, bebek, kuda, anjing, angsa, tetapi hanya dalam jumlah kecil saja. Namun terdapat juga pasar ternak (belante) di beberapa daerah. Ternak biasanya berfungsi sebagai pembantu tenaga kerja dalam bidang pertanian, transportasi, penjaga rumah, dan sering juga dipakai sebagai mas kawin.
5.   Kerajinan
Pada umumnya hasil kerajinan masyarakat Minahasa dikerjakan oleh wanita. Kerajinan itu berupa tikar, topi, dan alat-alat rumah tangga yang terbuat dari sejenis daun tumbuh-tumbuhan, rotan, silar, pandan, sejenis bambu (lou/dames), dan bambu kecil yang disebut bulu tui. Terdapat juga pembuatan alat-alat rumah tangga dari tanah liat berupa tembikar, jambangan, pot-pot bunga, piring, dan mangkok. Hasil-hasil kerajinan tersebut diperdagangkan penduduk sampai ke pelosok-pelosok Minahasa.
Sistem Kemasyarakatan
Kelompok kekerabatan di Minahasa dimulai dari bentuk yang terkecil yakni keluarga batih, yang disebut sanggawu (sangga= satu; awu= dapur). Sanggawu dapat berupa pasangan suami istri sendiri, atau beserta anak, baik anak kandung maupun anak angkat. Terbentuknya sanggawu dimulai dari pernikahan antara seorang wanita dan pria yang pada umumnya bukan hasil penjodohan yang tegas dari pihak orang tua. Setiap orang bebas menentukan jodohnya, asalkan bukan pasangan yang masih memiliki hubungan darah. Sesudah menikah pun mereka bebas menentukan tempat tinggal, biasanya secara neolokal (tumampas) di mana mereka tinggal di suatu tempat yang baru, terpisah dari kerabat istri maupun suami. Namun sebelum mempunyai rumah sendiri, adakalanya mereka tinggal di sekitar kerabat suami atau istri. Dengan tinggal berdampingan dengan keluarga batih dari kerabat atau orang tua, terbentuk suatu keluarga luas, yang biasanya terdiri dari beberapa keluarga batih, baik dalam satu rumah maupun satu pekarangan.
Batas-batas dari hubungan kekerabatan yang terdapat pada orang Minahasa ditentukan oleh prinsip-prinsip keturunan melalui lelaki dan wanita yang disebut prinsip keturunan bilateral. Dalam bahasa Minahasa prinsip keturunan seperti ini disebut taranak (famili), yang dapat dimengerti sebagai sebuah klen kecil. Setiap taranak memiliki kepala yang disebut tua unta ranak. Identitas satu taranak dilihat dari nama famili atau disebut fam. Nama famili ini biasanya diambil dari nama famili suami tanpa perubahan prinsip bilateral. Hal ini diperkuat dengan adanya kenyataan penulisan fam suami dan isteri bersama-sama pada papan nama yang ditempelkan di depan rumah. Hal yang menonjol dalam hubungan taranak di Minahasa, ialah di bidang warisan, kematian, perkawinan, dan pemilihan kepala desa. Dalam beberapa bidang ini sering timbul persaingan antar taranak dan kerjasama dalam satu taranak. Beberapa istilah yang digunakan untuk menyapa anggota famili dalam masyarakat Minahasa, yakni: Opu (kakek dari ayah atau ibu), Omu (nenek dari ayah atau ibu), Opa/Tek (ayah dari ibu/ayah), Oma/Nek (ibu dari ayah/ibu), Papa/Papi/Pa’ (ayah), Mama/Mami/Ma’ (ibu), Om/Mom (paman), Tante (bibi/tanta), dan Bu/Mbu (ipar/kakak lelaki)[1][22].
Desa (Banua/Wanua) merupakan suatu kesatuan hidup setempat di Minahasa yang dipimpin oleh seorang kepala desa (hukumtua). Ia dibantu oleh sejumlah orang yang semuanya disebut pamong desa. Untuk usaha-usaha gotong royong dan pembangunan desa, terdapat juga orang-orang yang membantu hukumtua yang biasa disebut tua-tua kampung. Mereka itu terdiri dari pemimpin-pemimpin agama setempat, guru-guru, mantan hukumtua, pemimpin-pemimpin kecil/RT dalam desa (kepala jaga), meweteng (pembantu kepala jaga), juru tulis, dan sejumlah pensiunan yang ada di desa.
Dalam menghadapi hal-hal kemasyarakatan yang penting seperti kematian, perkawinan, pengerjaan wilayah pertanian, kepentingan rumah tangga atau komunitas, masyarakat Minahasa menampakkan suatu gejala solidaritas berupa bantu-membantu dan kerjasama yang didasarkan pada prinsip resiprositas. Kegiatan kerjasama dan gotong royong ini disebut dengan mapalus. Bantuan yang diberikan bisa dalam berbagai bentuk, baik tenaga maupun barang-barang atau uang. Bantuan tersebut harus disadari oleh orang yang menerimanya dan diberikan balasannya, jika tidak ia akan dianggap sebagai orang yang tidak baik dan tidak akan menerima bantuan lagi dari siapapun.
Perkawinan dalam masyarakat Minahasa bukan berdasarkan penjodohan oleh orang tua, sehingga pergaulan muda-mudi umumnya bebas tetapi selalu dilihat secara diam-diam oleh pihak orang tua. Para muda-mudi memiliki waktu tertentu sebagai kesempatan pertemuan, yakni pada saat pesta-pesta kawin, malam hiburan, dan mapalus. Bila seorang pemuda sudah menemukan jodohnya, ia berterus-terang kepada orang tuanya. Jika disetujui, orang tua kemudian mengambil seorang perantara (rereoan/pabusean) untuk menyampaikan hasrat pemuda tersebut dengan mengatasnamakan orang tua pemuda kepada pihak orang tua perempuan. Bila disetujui, upacara berlanjut pada penentuan hari pengantaran mas kawin yang dikenal dengan antar harta/mali pakeang/mehe roko. Upacara itu termasuk juga dengan penentuan tempat dan tanggal pernikahan, jumlah undangan, surat-surat yang diperlukan, saksi-saksi, dan sebagainya. Kemudian barulah dilangsungkan upacara perkawinan yang biasanya diadakan di gereja dan melalui pemerintah (catatan sipil). Di samping itu, masih ada juga kawin baku piara yang tidak melalui catatan sipil atau agama. Hal ini seringkali dipengaruhi oleh persetujuan orang tua dan keterbatasan ekonomi.
Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan masyarakat suku Minahasa dapat dikelompokkan ke dalam beberapa bagian, yakni:
  1. Alam fauna; adanya kepercayaan terhadap tanda-tanda binatang seperti burung dan ular. Ada dua macam burung yang menunjukkan berbagai tanda. Burung siang (waru endo, kemekeke, totombara) dapat menunjukkan tanda adanya berita yang menyenangkan (lowas, keeke rondor), tanda tidak mengganggu perasaan (keeke tenga wowos), tanda tidak menyenangkan (mangalo/mangoro), dan tanda yang menakutkan atau beralamat tidak baik (keke). Burung malam (wara wengi kembaluan) dapat bersuara merdu tanda menyenangkan (manguni rendai), suara hampir merdu dan putus-putus tanda tidak mengganggu perasaan (imbuang), suara parau tanda membimbangkan (paapian), dan bunyi panjang serta keras (kiik) yang bertanda menakutkan jika terdengar dari arah depan atau kanan pendengar. Di samping itu, ada juga tanda dari ular, misalnya ular yang merayap dari barat ke timur dan ular yang mengangkat kepala. Tanda yang lainnya ialah tanda dari empedu atau hati binatang yang disembelih (babi, ayam, sapi, dll) yang dapat meramalkan masa depan.
  2. Alam flora; pengetahuan tentang alam flora dapat terlihat dari bermacam-macam bahan makanan masyarakat Minahasa yang diperoleh dari tumbuh-tumbuhan. Banyak bahan-bahan obat pula yang diperoleh dari berbagai jenis akar-akaran, dedaunan, kulit-kulit kayu, buah-buahan, rerumputan dan umbi-umbian. Beberapa contoh di antaranya, obat malaria dibuat dari sejenis akar yang disebut riis (tali pahit), goraka (jahe) sebagai obat batuk, obat sakit perut dan penolak roh jahat, serta kucai (sejenis bumbu dapur) sebagai obat demam bagi anak-anak.
  3. Tubuh manusia; pengetahuan tentang tubuh manusia dibagi ke dalam dua bagian yakni yang menyangkut perbuatan dan yang menyangkut hal-hal yang terjadi dalam tubuh. Pengetahuan itu lebih bersifat larangan-larangan bagi setiap orang yang melakukannya karena akan menimbulkan akibat tersendiri. Contohnya:
  • jangan memotong kuku pada malam hari, nanti kematian ibu atau salah satu anggota keluarga lekas terjadi; maksud sebenarnya ialah bila memotong kuku di waktu malam gampang mendapat luka.
  • Jangan suka tidur tiarap, nanti akan ditangkap hantu; maksudnya ialah agar peredaran darah tidak terganggu. .
  1. Ada juga kepercayaan rakyat Minahasa tentang mimpi, antara lain: mimpi gigi copot, alamat seorang dari keluarga dekat akan meninggal; mimpi mayat, artinya akan mendapat rejeki; mimpi mendapat uang atau dipagut ular, artinya akan mendapat sakit.
  2. Pengetahuan tentang alam, misalnya bila awan di langit kelihatan berpetak-petak, tandanya banyak ikan atau juga terjadi gempa bumi; bila kelihatan atau kedengaran segerombolan lebah yang terbang dari arah utara menuju selatan, alamatnya akan terjadi kemarau yang panjang, dan bila anjing-anjing membuang kotoran di jalanan umum, alamat musim kemarau panjang telah mulai.
  3. Pengetahuan tentang waktu; masyarakat Minahasa tradisional mengetahui tentang waktu dengan berpatokan pada matahari dan suara binatang. Misalnya, matahari mulai timbul berarti jam 6 pagi; di atas kepala adalah pukul 12.00; matahari terbenam pukul 6 sore. Ayam berkokok tengah malam adalah pukul 00.00; berkokok selanjutnya merupakan tanda sudah hampir siang. Para petani di sawah mendengar suatu binatang bernama konkoriang sebagai pertanda mereka harus segera pulang sebab waktu telah menunjukkan pukul 17.00. Ada juga semacam alat yang terbuat dari dua botol yang diikat sedemikian rupa, di mana pasir dipindahkan dari satu botol ke botol lain. Waktu selama pasir berpindah (lima jam) digunakan sebagai waktu bekerja (biasanya dalam mapalus).
  4. Sistem Religi; Sistem Religi dalam masyarakat Minahasa dibagi menjadi dua, yakni kepercayaan asli masyarakat (agama sakral) dan agama-agama wahyu.
  • Kepercayaan asli masyarakat Minahasa
Unsur-unsur religi pribumi masyarakat Minahasa masih nampak dalam beberapa upacara adat yang dilakukan orang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa sekitar lingkaran hidup individu, seperti masa hamil, kelahiran, perkawinan, kematian, maupun dalam bentuk roh-roh leluhur dan kekuatan-kekuatan gaib dalam hidup sehari-hari,yang baik maupun yang jahat. Orang Minahasa menyebut dewa dengan Empung atau Opo. Dewa yang tertinggi disebut Opo Wailan Wangko (Tuhan Allah). Ia dianggap sebagai pencipta seluruh alam dan dunia serta segala isinya. Sesudah dewa tertinggi, ada wujud di bawahnya yakni, Karema. Rupanya Karema merupakan salah satu dari roh leluhur. Karema sendiri berarti ‘mitra, teman (ka-) yang dihubungkan dengan makan sirih-pinang (lema)’.
Opo ada yang baik dan ada yang jahat. Opo yang baik akan senantiasa menolong manusia yang dianggap sebagai cucu mereka, apabila mentaati petunjuk-petunjuk yang diberikan mereka. Pelanggaran terhadap petunjuk itu dapat mengakibatkan yang bersangkutan mengalami bencana, kesulitan hidup atau hilangnya kekuatan sakti akibat murka dari Opo-opo tersebut. Ada juga Opo-opo yang memberikan kekuatan sakti untuk hal-hal yang tidak baik seperti untuk mencuri dan berjudi[2][30]. Opo masih dibagi lagi ke dalam beberapa jenis, yakni: nenek moyang (dotu), Opo dari setiap kerabat, makhluk-makhluk penghuni gunung, sungai, mata air, hutan, tanah, pantai/laut, mata angin, dan Opo hujan.
  • Agama-agama wahyu dalam masyarakat Minahasa
Umumnya orang Minahasa dikenal sebagai suatu komunitas Kristen yang juga masih menerima beberapa unsur atau konsep tertentu dari religi pribumi. Namun dalam kehidupan sehari-hari, unsur-unsur dari religi pribumi ini berpadu dengan komponen-komponen Kristen dan membentuk sebuah sinkretisme. Hal ini terlihat dalam upacara-upacara siklus hidup, pengobatan, dan perilaku keagamaan sehari-hari. Dalam proses sinkretisme ini, unsur-unsur religi pribumi mengalami penyesuaian maupun transformasi makna sehingga sejalan dengan agama Kristen. Misalnya, Opo Wailan Wangko sebagai konsep dewa tertinggi telah dilihat sebagai Tuhan Allah. Namun, di samping itu tentu terjadi juga beberapa ketidaksesuaian persepsi emic dan etic atas sinkretisme tersebut.
Agama-agama yang umum dipeluk oleh masyarakat Minahasa ialah Protestan, Katolik, Islam, dan Budha. Sekarang ini Protestanisme merupakan mayoritas (85%) di Minahasa. Penganut Islam sendiri terhitung 8% dari populasi penduduk].
Kesenian
Berikut adalah beberapa bentuk kesenian yang terdapat dalam masyarakat Minahasa.
  • Tarian perang yang disebut tari cakalele (mahasasau), merupakan perpaduan tari Spanyol yang telah mengalami perubahan di Ternate, dan kemudian masuk ke Minahasa. Berupa gerakan-gerakan perang; menantang, mengejar dan menghindari musuh dengan gerakan ke kiri serta ke belakang atau dengan lompatan menyerang musuh. Tarian ini diperagakan dalam berbagai kesempatan, seperti penyambutan tamu, pembangunan, penarikan kayu, dan pesta-pesta adat[3][36]. Selain itu, ada juga tarian lain yang diiringi dengan nyanyian, seperti tarian padi (makanberu), tarian naik rumah baru (merambak), dan tarian muda-mudi (lalayapan).
  • Kesusasteraan suci masyarakat Minahasa dikenal dengan istilah masambo (meminta doa). Masambo memiliki perbedaan versi di tiap sub-suku Minahasa. Isi dari masambo tidak lain adalah doa permohonan kepada yang berkuasa agar tetap memelihara, menjaga, memberkati, memberikan restu, meminta rejeki, dan sebagainya yang biasa dijumpai pada bidang pertanian, perkawinan, naik rumah baru, kelahiran, kematian, dan sebagainya. Selain itu isinya juga mengandung nasehat-nasehat atau anjuran-anjuran yang harus diperhatikan sebagai pedoman hidup. Syair-syair masambo biasanya dinyanyikan menurut irama tertentu
Ada juga berbagai ungkapan, pepatah,simbol, dan perumpamaan yang dimiliki oleh masyarakat suku Minahasa, terutama oleh orang-orang tua yang bermukim di desa-desa. Misalnya, Sa lumampang, lumampang yo makauner; arti harafiahnya: “kalau berjalan, berjalanlah ke dalam (tengah) atau bila masuk jangan setengah-setengah, melainkan masuklah ke dalam”. Pengertiannya, bila melaksanakan suatu pekerjaan, janganlah setengah-setengah melainkan kerjakanlah dengan sungguh-sungguh. Selain itu masih berbagai pepatah dan ungkapan lain. Simbol yang ada dalam masyarakat Minahasa, misalnya hiasan-hiasan berupa kain merah di kepala melambangkan kesatriaan dan keberanian, sayap bulu burung manguni (burung hantu) yang diikatkan di kepala menyimbolkan kebesaran dan keagungan, dan parang dan perisai sebagai lambang siap bertempur, siap berjuang membela tanah air.
Dalam bentuk pakaian atau tenunan, ada dua jenis tenunan. Yang pertama dan paling kasar adalah kadu/wau, yaitu kain panjang yang dapat dibuat rok wanita atau kemeja. Kain tersebut juga dipakai sebagai layar perahu pribumi, tirai serambi rumah, ataupun sebagai karung untuk mengangkut beras atau padi. Yang kedua ialah kain tenunan yang terbuat dari kapas dari pohon yang tumbuh di Minahasa. Kapas ini cukup baik dan halus, tetapi hasil tenunannya cenderung kasar. Biasa digunakan sebagai sarung dan alas pada tempat duduk orang besar atau ulama.
Para wanita Minahasa juga membuat tolo, tutup kepala berbentuk kerucut dengan berbagai ukuran, terbuat dari daun silar dengan berbagai warna yang mencolok. Sayangnya, kini berbagai kesenian dalam bentuk tenunan ini sudah hilang dari kehidupan masyarakat Minahasa yang mulai terhanyut oleh arus kehidupan modern.

suku budaya NTT

Suku Dunia ~ Sebagai referensi anda, Suku Dunia akan memberitahukan kepada anda beberapa macam suku bangsa yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dan semoga dengan postingan ini, wawasan anda akan pengetahun kebudayaan di Nusa Tenggara Timur bertambah. Suku-suku ini tersebar di berbagai daerah wilayah atau Kabupaten di Nusa Tenggara Timur yang terkenal akan hewan komodonya ini.
ragam-suku-di-nusa-tenggara-timur

Suku Alor

Suku bangsa Alor mendiami daratan pulau Alor, Pantar dan pulau-pulau kecil di antaranya. Daerah mereka sekarang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Nama Alor mungkin diberikan oleh orang luar untuk menyebut seluruh kelompok masyarakat yang berdiam di daerah tersebut. Mereka sendiri terdiri atas sejumlah sub-suku bangsa, antara lain Abui, Alor, Belagar, Deing, Kabola, Kawel, Kelong, Kemang, Kramang, Kui, Lemma, Maneta, Mauta, Seboda, Wersin, dan Wuwuli. Pada masa lampau sub-sub suku bangsa tersebut masing-masing hidup terasing di daerah perbukitan dan pegunungan, terutama untuk menghindari peperangan dan tekanan dari dunia luar.
Baca lengkap : Sejarah Suku Alor

Suku Atoni

Suku bangsa Atoni berdiam di pedalaman Pulau Timor bagian barat yang sebagian besar berupa tanah kering dan berbukit-bukit gundul, seperti di kefettoran Amarasi, Fatu Leu, Amfoan, Mollo, Amanuban, Amanatun, Miomafo, Insana dan Beboki. Jumlah populasinya sekitar 300.000 jiwa. Orang Atoni mempunyai bermacam-macam sebutan. Orang Tetun menyebut mereka orang Dawan, Orang Bunak menyebut mereka Rawan, penduduk di kota Kupang menyebut mereka Orang Gunung.
Baca lengkap : Sejarah Suku Atoni

Suku Bajawa

Bajawa berarti India belakang. Nenek moyang penduduk Bajawa berasal dari India belakang yang masuk ke pulau Jawa, kemudian mereka melanjutkan perjalanan melalui samudera menuju ke Flores dengan mengendarai sampan yang mereka anggap mirip seperti piring. Oleh sebab itu nama kota tempat tinggalnya di Flores disebut dengan Bhajawa, yang berarti piring dari Jawa. Pendaratan pertama mereka di Flores yaitu di daerah Aimere, kemudian mereka melanjutkan perjalanan darat hingga sampai ke Bajawa. Para pendatang tersebut membawa budaya dari Hindia belakang yang kemudian mereka padukan dengan budaya asli, yaitu Ngadhu dan Bhaga.

Suku Boti

Suku Boti merupakan salah satu suku tertua di Provinsi NTT. Keberadaannya yang nyaris tak terdengar memang sempurna dengan lokasi mereka bermukim jauh dari kehidupan kota dan jalanan yang seadanya untuk dilalui kendaraan bermotor. Dari Kupang, Ibukota Provinsi NTT, terlebih dahulu kita akan memasuki Kota So’e yang merupakan Ibukota dari Kabupaten Timor Tengah Selatan. Kota kecil yang sejuk, penghasil buah jeruk. Pada saat musim jeruk, kita dapat membeli buah tersebut langsung dari pohon. Jangan heran kalau dengan uang sebanyak lima ribu rupiah kita sudah bisa dipersilahkan memakan jeruk sepuasnya dari pohon.

Suku Deing

Suku Deing adalah suatu kelompok masyarkat yang mendiami daerah Lebang Beengada, Mariabang, Nadar dan Bagang, yang berada di kabupaten Alor provinsi Nusa Tenggara Timur. Suku Deing, adalah salah satu dari puluhan suku-suku kecil yang berada di kabupaten Alor. Populasi suku Deing termasuk kecil, tapi mereka eksis sebagai suatu kelompok masyarakat yang memiliki adat-istiadat, budaya dan bahasa sendiri. Suku Deing berbicara dalam bahasa Deing, yang merupakan suatu bahasa cabang bahasa Austronesia.

Suku Ende

Suku Ende merupakan satu dari dua suku yang menjadi mayoritas di kabupaten Ende di pulau Flores provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Suku Ende di kabupaten Ende hidup bersama dengan suku Lio yang juga mendiami daerah ini. Suku Lio sebagai suku tetangga suku Ende pada umumnya hidup di daerah pegunungan. Sedangkan suku Ende bermukim di daerah pesisir di sekitar bagian selatan kabupaten Ende.

Suku Flores

Suku bangsa Flores merupakan percampuran etnis antara Melayu, Melanesia, dan Portugis. Dikarenakan lokasi yang berdekatan dengan Timor, yang pernah menjadi Koloni Portugis, maka interaksi dengan kebudayaan Portugis pernah terjadi dalam kebudayaan Flores, baik melalui Genetik, Agama dan budaya.

Suku Kedang

Suku bangsa ini mendiami desa-desa dalam daerah Omesuri dan Buyasuri di Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kedua daerah tersebut berada di daratan Pulau Lomblem atau Lembata yang sebagian besar berupa padang rumput berbukit-bukit. Jumlah populasi suku bangsa berbahasa Kedang ini diperkirakan sekitar 12.000 jiwa.
Baca lengkap : Sejarah Suku Kedang

Suku Kemak

Masyarakat ini hidup dari pertanian di ladang dan sawah, beternak kerbau, kuda, sapi, babi dan kambing. Kaum wanita mereka juga suka menenun kain (tais) Timor yang cukup terkenal itu. Jumlah populasi suku Kemak sekitar 50.000 jiwa. Dalam berhubungan dengan suku bangsa lain di wilayah Timor Leste mereka menggunakan bahasa Tetun.
Baca lengkap : Sejarah Suku Kemak

Suku Kemang

Suku Kemang merupakan salah satu suku kecil dari sekian banyak suku-suku di kabupaten Alor. Suku Kemang memiliki populasi yang kecil, namun mereka memiliki adat-istiadat, budaya dan bahasa sendiri, yaitu bahasa Kemang. Masyarakat suku Kemang dalam bertahan hidup pada bidang pertanian. Mereka memiliki ladang atau kebun yang ditanami beberapa jenis tanaman untuk kebutuhan hidup mereka sehari-hari, seperti jagung, kacang-kacangan, umbi-umbian, pisang dan kelapa.

Suku Lamaholot

Suku Lamaholot adalah salah satu komunitas masyarakat yang terdapat di kabupaten Flores Timur, Tanjung Bunga, Adonara, Solor dan Lembata, yang semuanya berada di provinsi Nusa Tenggara Timur. Masyarakat suku Lamaholot berbicara dalam bahasa Lamaholot. Bahasa Lamaholot memiliki banyak varian bahasa, yang disebut sebagai bahasa Lamaholot dengan dialek-dialeknya.Menurut penuturan masyarakat Lamaholot, bahwa pada awalnya bahasa mereka hanya satu bahasa, yaitu bahasa Lamaholot, dengan terjadinya percampuran penduduk dari suku-suku lain mempengaruhi penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari.

Suku Manggarai

Suku bangsa Manggarai mendiami Kabupaten Manggarai yang terletak di Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jumlah populasinya sekitar 350.000 jiwa. Bahasa Manggarai nampaknya terdiri atas beberapa dialek, seperti dialek Pae, Mabai, Rejong, Mbaen, Pota, Manggarai Tengah, Manggarai Timur, dan Manggarai Barat. Empat dialek terdepan mungkin merupakan bahasa dari kelompok suku bangsa tersendiri yang tunduk kepada orang Manggarai di zaman dulu.
Baca lengkap : Sejarah Suku Manggarai

Suku Ngada

Orang Ngada sebenarnya terdiri atas beberapa sub-suku bangsa yaitu Ngada, Maung, Riung, Rongga, Nage Keo, Bajawa dan Palue. Sub-sub suku bangsa itu umumnya ditandai oleh perbedaan dialek-dialek yang mereka pakai. Sungguhpun begitu ciri-ciri kebudayaan mereka memperlihatkan kesamaan. Masyarakat Suku Ngada berdiam di Pulau Flores, tepatnya di wilayah Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Populasinya diperkirakan sekitar 155.000 jiwa. Mata pencaharian hidup mereka umumnya adalah berladang, sebagian di sawah, ada pula yang beternak sapi, kerbau, dan kuda.
Baca lengkap : Sejarah Suku Ngada

Suku Rote

Suku Rote atau Orang Rote berdiam di Pulau Roti, Ndao dan sebagian pantai barat Pulau Timor, di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Daerah mereka termasuk dalam wilayah Kabupaten Kupang. ada anggapan para ahli bahwa penduduk di pulau-pulau itu sebenarnya berasal dari Pulau Seram di Maluku Tengah. Jumlah populasinya sekitar 88.000 jiwa.
Baca lengkap : Sejarah Suku Rote

Suku Sika

Sika adalah sebuah suku bangsa Indonesia yang menetap di wilayah tengah timur Flores antara Sungai Bloh dan Sungai Napung. Bahasa Sika, bagian dari rumpun bahasa Timor-Ambon, dipertuturkan oleh suku Sika.

budaya suku ambon

Suku Dunia ~ Suku bangsa Ambon mendiami Pulau Ambon, Hitu dan Saparua, Provinsi Maluku. Sebenarnya mereka berasal dari Pulau Seram seperti halnya dengan suku-suku bangsa lain yang lebih dulu mendiami pulau-pulau di Maluku Tengah.
sejarah-suku-ambon

Bahasa Suku Ambon

Bahasa Ambon sendiri merupakan perkembangan dari bahasa asli yang dipengaruhi oleh bahasa Melayu. Ada juga yang menyebut bahasa Ambon sebagai bahasa Melayu Ambon atau Nusalaut. Pemakai bahasa ini sekarang berjumlah sekitar 100.000 jiwa, belum termasuk yang berada di Negeri Belanda. Melihat daerah pemakaiannya bahasa Ambon dibagi ke dalam dialek-dialek : Nusalaut, Saparua, Haruku, Hila, Asilulu, Hatu, Wakasihu, dan lain-lain. Sekarang bahasa Ambon menjadi bahasa pengantar bagi masyarakat yang berbeda-beda suku bangsa di daerah Provinsi Maluku.

Mata Pencaharian Utama Suku Ambon

Pada dasarnya mata pencaharian utama orang Ambon adalah bercocok tanam di ladang dengan tanaman pokok padi, jagung, ubi jalar, ubi kayu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, kelapa, kopi, cengkeh, tembakau dan buah-buahan. Sementara itu sagu masih dianggap sebagai makanan pokok. Bahan makanan itu dulu mudah didapat di hutan-hutan, karena tumbuh secara liar. Sekarang tanaman sagu sudah dibudidayakan dengan jalan menanamnya secara teratur seperti menanam pohon kelapa. Selain bertani masyarakat ini suka pula menangkap ikan di perairan sekitar pulau-pulau mereka yang memang kaya dengan hasil laut. Dalam hal pendidikan formal orang Ambon sudah sejak zaman Belanda banyak bersekolah dan memilih pekerjaan sebagai pegawai negeri dan tentara.

Kekerabatan Dan Kekeluargaan Dalam Suku Ambon

Orang Ambon menghitung hubungan kekerabatan melalui garis keturunan pihak ayah (patrilineal), dan pola menetap setelah kawin adalah di lingkungan pihak ayah (patrilokal). Kesatuan kekerabatan yang terpenting adalah matarumah (keluarga batih) yaitu sebuah kesatuan keluarga  yang terdiri dari satu keluarga inti senior dan keluarga-keluarga inti junior dari garis keturunan laki-laki.

Pada tingkat yang lebih luas lagi mereka mengenal bentuk kesatuan kekerabatan berupa keluarga luas terbatas yang disebut soa. Pada masa sekarang istilah soa ini sering mereka kacaukan dengan istilah fam (family, dari bahasa Belanda). Masyarakat Ambon menyebut desa-desa mereka negeri. Kesatuan hidup setempat ini dipimpin oleh seorang kepala Negeri yang lebih sering digelari bapa raja, kebetulan kedudukan ini memang dimiliki secara turun-temurun oleh matarumah dari soa yang paling senior dalam desa tersebut.

Dalam kedudukannya seorang Bapa Raja dibantu oleh suatu lembaga adat yang disebut saniri negeri. Lembaga ini ada beberapa macam. Pertama Saniri raja putih yang terdiri atas raja dan para kepala soa saja. Kedua, saniri negeri lengkap yang terdiri atas raja dan para kepala soa dan para kepala adat. Ketiga, saniri negeri besar yang terdiri atas raja, para kepala soa, kepala adat dan kepala matarumah atau warga masyrakat yang sudah dewasa. Bapa Raja mempunyai tangan kanan yang disebut marinyo (pesuruh). Pada zaman dulu antara satu negeri dengan negeri lain ada yang tergabung ke dalam ikatan adat yang disebut pela, dimana mereka tidak boleh saling menyerang, malahan harus membantu jika salah satu diserang musuh. Masa sekarang ikatan adat pela ini diwujudkan dalam bentuk kerja sama sosial antar desa.

Agama Dan Kepercayaan Suku Ambon

Sekarang orang Ambon sudah memeluk agama Islam atau Kristen. Jumlah pemeluk agama Islam sedikit lebih banyak, dan mereka umumnya lebih terampil dalam bidang perdagangan dan ekonomi umumnya. Sedangkan orang Ambon pemeluk agama Kristen lebih banyak memilih pekerjaan sebagai pegawai negeri, guru, dan tentara. Namun kehidupannya sehari-hari mereka masih menjalankan kegiatan adat tertentu dari kebudayaan lama, dan menjadi salah satu identitas kesukubangsaan yang menonjol, seperti mengadakan upacara Nae Baileu atau upacara Cuci Negeri yang merupakan warisan kepercayaan nenek moyang mereka. Dalam menangani masalah kematian dan pelaksanaan upacaranya mereka selesaikan lewat kesatuan sosial adat yang disebut mubabet.

Nae Baileu adalah sebuah upacara yang bersifat "cuci negeri" yang ditemukan pada msayarakat adat di negeri-negeri Ambon umumnya. Upacara ini berpusat di sebuah balai adat yang mereka sebut baileu. Pada zaman dulu balai adat ini digunakan untuk tempat musyawarah adat dan pelaksanaan upacara religi. Tujuan utama upacara Nae Baileu selain untuk menjauhkan unsur-unsur buruk dari negeri, meminta berkat dan perlindungan kepada roh kakek moyang, juga untuk memperkuat kembali ikatan sosial yang damai antara semua soa yang ada dalam negeri itu.

Menurut terbentuknya sebuah komunitas negeri, negeri itu dibuka pertama kali oleh soa-soa yang digolongkan ke dalam kelompok soa hitam. Biasanya orang-orang dari kelompok soa hitam inilah yang dianggap berhak menjadi raja, sekaligus menjadi tuan tanah yang menentukan tanah mana saja yang boleh digarap oleh soa-soa yang datang kemudian. Menerima soa baru sebagai anggota pada masa dulu diperlukan, terutama untuk menambah kekuatan laskar dalam rangka peperangan antar negeri yang lazim terjadi pada waktu itu. Sekarang upacara Nae Baileu sudah banyak dipengaruhi oleh agama Islam atau Kristen, sesuai dengan agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk sebuah negeri.

Pada zaman Belanda kota Ambon ramai dikunjungi oleh berbagai bangsa dan suku bangsa, sehingga muncullah beberapa istilah penunjuk kelompok pendatang, seperti Tuni, Moni, Mahu, dan Wahan. Tuni adalah istilah untuk menyebut suku-suku bangsa yang berasal dari pulau seram (nunusaku). Pulau seram sering pula disebut Nusa Ina, karena sebagian besar suku bangsa yang tersebar di kepulauan Maluku Tengah dianggap berasal dari pulai ini. Moni adalah istilah untuk menyebut suku-suku bangsa dari daerah sekitar Lautan Pasifik (Papuan dan Melanesian). Mahu dipakai untuk menyebut suku-suku bangsa yang berasal dari Indonesia bagian barat, seperti orang bugis, Makassar, Buton, Minangkabau, dan Jawa. Sementara itu Wahan adalah sebutan untuk menyebut suku-suku bangsa yang berasal dari pulau-pulau sekitar Ambon, seperti orang ternate, Banda, Buru.

budaya suku jawa barat

Suku Dunia ~ Suku-Suku di bawah ini bisa menambah wawasan anda akan keragaman suku yang ada di Provinsi Jawa Barat. Provinsi Jawa Barat terdiri dari beberapa Kota dan Kabupaten dengan Kota Bandung sebagai Ibu Kota dari Provinsi ini. Berikut suku-suku yang ada di Jawa Barat.
suku-suku-di-jawa-barat

Suku Sunda

Suku bangsa Sunda sering juga disebut orang Priangan. Masyarakat ini mendiami sebagian besar wilayah Provinsi Jawa Barat, mulai dari kota-kota besar Bandung, Bogor, Sukabumi, Tasikmalaya, sampai ke desa-desa. Pola perkampungannya mengelompok padat dan terdiri dari beberapa puluh buah rumah yang masing-masing juga mengelompok. Kelompok-kelompok rumah dalam sebuah kampung disebut babakan. Kemudian beberapa buah kampung dengan batas-batas historis tertentu membentuk kesatuan desa. Jumlah populasi suku bangsa Sunda pada masa sekarang sulit dipastikan. Tapi diperkirakan paling tifak ada sekitar 20 juta jiwa.
Baca lengkap : Sejarah Suku Sunda

Suku Betawi

Nama Betawi sebenarnya berasal dari kata Batavia, yaitu nama kota Jakarta pada zaman penjajahan Belanda dulu. Orang atau suku Betawi sebenarnya adalah suatu suku bangsa baru yang terbentuk oleh campuran berbagai suku bangsa lain sejak zaman Jakarta masih sebagai pelabuhan yang bernama Sunda Kelapa, kemudian diubah oleh Belanda menjadi Batavia. Suku bangsa ini dulu mungkin berasal dari orang-orang Melayu, Sunda, Jawa, Bugis, Makasaar, Bali, Ambon dan ras lain seperti Arab, Cina, Portugis dan sebagainya. Pada masa sekarang masyarakat Betawi masih bisa ditemui di beberapa tempat dalam kota Jakarta, akan tetapi kebanyakan sudah terdesak dan memilih tempat tinggal di pinggir wilayah Jakarta, seperti di Cisalak, Tambun, Bekasi, Tangerang dan lain-lain. Jumlah populasinya sekarang juga susah dihitung, mungkin jumlahnya sekarang sekitar 778.953 jiwa.
Baca lengkap : Sejarah Suku Betawi

Suku Baduy

Orang Baduy dianggap juga sebagai bagian dari suku bangsa Sunda, karena sebagian besar unsur budaya dan bahasanya sama dengan kebudayaan Sunda. Masyarakat Baduy sendiri terbagi kepada dua kelompok, yaitu kelompok Baduy dalam yang disebut juga Urang Kejeroan, dan kelompok Baduy luar yang disebut juga Urang Kaluaran atau Urang Panamping. Kampung orang Baduy dalam hanya ada tiga buah dan semuanya terletak di wilayah tanah adat yang mereka sebut sebagai taneuh larangan (tanah larangan), yaitu kampung Cikeusik, Cikartawana dan Cibeo. Kelompok Kaluaran mendiami kampung-kampung yang berada di luar tanah larangan, seperti Cibengkung, Kaduketug dan Curugseor. Perkampungan orang Baduy Dalam dianggap sebagai prototipe perkampungan masyarakat Sunda zaman dulu, yaitu memanjang di kedua sisi sebuah lapangan, lalu di kedua ujung lapangan itu terletak dua bangunan utama berhadap-hadapan, yang sebuah adalah bale (bangunan besar tempat menerima tamu), dan rumah sang pu'un (pemimpin spritual masyarakat Suku Baduy).
Baca lengkap : Sejarah Suku Baduy

Suku Jawa

Orang Jawa sering juga menyebut dirinya Wong Jowo atau Tiang Jawi. Jumlah populasinya paling banyak dibandingkan dengan suku-suku bangsa lain, dan wilayah asal serta wilayah persebarannya di selurug Indonesia juga paling luas. Program transmigrasi penduduk Jawa ke pulau-pulau besar lain sudah dimulai oleh pemerintahan jajahan Belanda sejak abad ke-18, seperti transmigrasi orang Jawa ke perkebunan besar di sekitar Deli Serdang di Sumatera Utara dan ke daerah provinsi Lampung. Pada abad itu banyak pula orang Jawa yang dibawa ke berbagai perkebunan di Suriname (Amerika Selatan), ke Afrika Selatan, dan ke Haiti di Lautan Teduh (Pasifik).

budaya suku toraja

Kebudayaan Suku Toraja Dan Keunikannya

Suku Dunia ~ Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidendereng dan dari luwu. Orang Sidendreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebuatn To Riaja yang mengandung arti “Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”, sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah “orang yang berdiam di sebelah  barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.

Adat Istiadat Suku Toraja

upacara-rambu-solo

Rambu Solo adalah upacara adat kematian masyarakat Toraja yang bertujuan untuk menghormati dan menghantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh, yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah tempat peristirahatan. Upacara ini sering juga disebut upacara penyempurnaan kematian karena orang yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal setelah seluruhprosesi upacara ini digenapi. Jika belum, maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai orang sakit atau lemah, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya orang hidup, yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberi hidangan makanan dan minuman bahkan selalu diajak berbicara.

Puncak dari upacara Rambu solo ini dilaksanakan disebuah lapangan khusus. Dalam upacara ini terdapat beberapa rangkaian ritual, seperti proses pembungkusan jenazah, pembubuhan ornament dari benang emas dan perak pada peti jenazah, penurunan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan, dan proses pengusungan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir.

Selain itu, dalam upacara adat ini terdapat berbagai atraksi budaya yang dipertontonkan, diantaranya adu kerbau,kerbau-kerbau yang akan dikorbankan di adu terlebih dahulu sebelum disembelih, dan adu kaki. Ada juga pementasan beberapa musik dan beberapa tarian Toraja. Kerbau yang disembelih dengan cara menebas leher kerbau hanya dengan sekali tebasan, ini merupakan ciri khas masyarakat Tana Toraja. Kerbau yang akan disembelih bukan hanya sekedar kerbau biasa, tetapi kerbau bule Tedong Bonga yang harganya berkisar antara 10 hingga 50 juta atau lebih per ekornya.

Rumah Adat Suku Toraja

rumah-tongkonan

Tongkonan adalah rumah tradisional masyarakat Toraja, terdiri dari tumpukan kayu yang dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata “tongkon” berasal dari bahasa Toraja yang berarti tongkon “duduk”. Selain rumah, Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan rumah adat ini sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja. Oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena melambangkan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja, Tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.

Kesenian Suku Toraja

ukiran-kayu-suku-toraja

Tanah toraja adalah salah satu daerah yang terkenal akan ukirannya. Ukiran ini menjadi kesenian khas suku bangsa Toraja di Sulawesi Selatan. Ukiran dibuat menggunakan alat ukir khusus di atas sebuah papan kayu, tiang rumah adat, jendela, atau pintu. Bukan asal ukiran, setiap motif ukiran dari Tana Toraja memiliki nama dan makna khusus. Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja. Selain itu, ukiran Tana Toraja memiliki sifat abstrak dan geometris. Tumbuhan dan hewan sering dijadikan dasar dari ornament Toraja.

Pakaian Adat Suku Toraja

pakaian-adat-suku-toraja

Pakaian adat pria Toraja dikenal dengan Seppa Tallung Buku, berupa celana yang panjangnya sampai di lutut. Pakaian ini masih dilengkapi dengan asesoris lain, seperti kandaure, lipa', gayang dan sebagainya. Baju adat Toraja disebut Baju Pokko' untuk wanita. Baju Pokko' berupa baju dengan lengan yang pendek. Warna kuning, merah, dan putih adalah warna yang paling sering mendominasi pakaian adat Toraja. Baju adat Kandore yaitu baju adat Toraja yang berhiaskan Manik-manik yang menjadi penghias dada, gelang, ikat kepala dan ikat pinggang.

Peninggalan Suku Toraja

gua-londa

Londa adalah sebuah kompleks kuburan kuno yang terletak di dalam gua. Di bagian luar gua terlihat boneka-boneka kayu khas Toraja. Boneka-boneka merupakan replika atau miniatur dari jasad yang meninggal dan dikuburkan di tempat tersebut. Miniatur tersebut hanya diperuntukkan bagi bangsawan yang memiliki strata sosial tinggi, warga biasa tidak mendapat kehormatan untuk dibuatkan patungnya.

Kuburan Gua londa Tana Toraja adalah kuburan pada sisi batu karang terjal , salah satu sisi dari kuburan itu berada di ketinggian dari bukit mempunyai gua yang dalam dimana peti-peti mayat di atur dan di kelompokkan berdasarkan garis keluarga. Disisi lain dari puluhan tau-tau berdiri secara hidmat di balkon wajah seperti hidup mata terbuka memandang dengan penuh wibawah.

Makanan Khas Suku Toraja

makanan-khas-suku-toraja

Pa’piong merupakan makanan khas suku toraja yang mempunyai nama cukup unik dan berbahan dasar daging babi atau biasanya juga bisa daging ayam. Kalau biasanya daging babi atau ayam diolah di bakar atau di goreng atau bisa juga di rebus, masyarakat Toraja mengolah daging-daging tersebut dengan memasukkannya ke dalam bambu lalu di bakar. Seperti pengolahan nasi bambu. Tapi setelah di masak dengan bambu makanan ini kemudian diolah lagi dengan memanggang daging yang sudah dimasak dengan bambu. Proses pembuatannya sebelum dimasukkan kedalam bambu daging terlebih dahulu diolah dengan cara dicampurkan dengan rempah rempah dan bumbu yang kemudian ditambahkan dengan cabai local.

budaya suku bali

Suku Dunia ~ Suku Bali atau Orang Bali sebagian besar mendiami pulau Bali dan memiliki bahasa tersendiri. Sementara agama dan kepercayaan yang mereka anut ialah Hindu yang mengandung konsep Trimurti. Suku Bali mempunyai nilai kebudayaan yang sangat tinggi dan tak heran jika kebudayaan mereka ini banyak menarik perhatian turis-turis asing, apalagi keindahan pulau Bali sudah terkenal ke seluruh mancanegara.

Rumah Adat Suku Bali

Rumah Bali yang sesuai dengan aturan Asta Kosala Kosali (bagian Weda yang mengatur tata letak ruangan dan bangunan, layaknya Feng Shui dalam Budaya China). Menurut filosofi masyarakat Bali, kedinamisan dalam hidup akan tercapai apabila terwujudnya hubungan yang harmonis antara aspek pawongan, palemahan dan parahyangan. Untuk itu pembangunan sebuah rumah harus meliputi aspek-aspek tersebut atau yang biasa disebut Tri Hita Karana. Baca lengkap Sejarah Suku Bali
rumah-adat-suku-bali

Pawongan merupakan para penghuni rumah. Palemahan berarti harus ada hubungan yang baik antara penghuni rumah dan lingkungannya. Pada umumnya bangunan atau arsitektur tradisional daerah Bali selalu dipenuhi hiasan, berupa ukiran, peralatan serta pemberian warna. Ragam hias tersebut mengandung arti tertentu sebagai ungkapan keindahan simbol-simbol dan penyampaian komunikasi. Bentuk-bentuk ragam hias dari jenis fauna juga berfungsi sebagai simbol-simbol ritual yang ditampilkan dalam patung.

Pakaian Adat Suku Bali

Pakaian adat Bali kalau dilihat sekilas terkesan sama. Padahal sebenarnya pakaian adat Bali sangat bervariasi. Dengan melihat pakaian adat Bali yang dikenakan seseorang dalam  suatu acara, bisa dilihat status ekonomi dan status pernikahannya. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa pakaian adat Bali memiliki keanggunan dan citra tersendiri. Setidaknya ada tiga jenis pakaian Adat Bali yang umum dikenakan oleh masyarakat Bali. Pertama, pakaian adat untuk upacara keagamaan. Kedua, pakaian adat untuk upacara pernikahan. Dan, ketiga adalah pakaian adat untuk aktivitas sehari-hari. Pakaian Adat khas Bali ini berbeda antara yang dipakai oleh laki-laki dan perempuan.
pakaian-adat-suku-bali

Misalnya pemakaian sanggul ke pura oleh remaja putri. Mereka memakai sanggul atau pusung gonjer sedangkan untuk perempuan dewasa (sudah menikah) menggunakan sanggul (pusung tagel). Busana Agung adalah pakaian adat Bali yang paling mewah. Pakaian adat Bali yang satu ini biasanya dipakai pada rangkaian acara ‘Potong Gigi’ atau Perkawinan. Busana Agung mempunyai beberapa variasi tergantung tempat, waktu dan keadaan. Kain yang digunakan dalam pakain adat Bali yang satu ini adalah wastra wali khusus untuk upacara atau wastra putih sebagai simbol kesucian. Tapi, tak jarang pula kain dalam pakaian adat Bali ini diganti dengan kain songket yang sangat pas untuk mewakili kemewahan atau prestise bagi pemakainya.

Tarian Suku Bali

tari-suku-bali

Ialah Tari Barong dan Tari Kecak yang menjadi salah satu tarian tradisional khas Bali yang sudah terkenal kemana-mana. Apa menariknya dari kedua tarian ini? Kedua tarian ini bisa dikata sebagai ikon kesenian tradisional Bali yang diangkat ke level nasional bahkan internasional. Seringkali kedua tarian ini dijadikan sebagai media promosi efektif paket-paket wisata di Bali oleh berbagai agen dan biro perjalanan wisata. Bahkan hampir seluruh agen maupun biro perjalanan wisata ke Bali selalu mengajak tamunya untuk menyaksikan Tari Barong dan Tari Kecak ini.

Kesenian Suku Bali

kesenian-suku-bali

Sekarang ini walaupun dunia berkembang begitu pesat, pengaruh budaya luar begitu terasa, salah satu yang masih bisa eksis di Bali adalah ukiran khas Bali. Ukiran Khas Bali tentunya memiliki nilai seni tersendiri, berbeda dengan seni ukiran dari daerah lainnya.

Makanan Khas Suku Bali

Salah satu makanan khas dari orang Bali yang paling terkenal ialah Ayam Betutu. Ayam Betutu adalah lauk yang terbuat dari ayam atau bebek yang utuh yang berisi bumbu, kemudian dipanggang dalam api sekam. Betutu ini telah dikenal di seluruh kabupaten di Bali. Salah satu produsen betutu adalah desa Melinggih, kecamatam payangan kabupaten Gianyar. 
makanan-khas-suku-bali

Ayam betutu juga merupakan makanan khas Gilimanuk. Betutu digunakan sebagai sajian pada upacara keagamaan dan upacara adat serta sebagai hidangan dan di jual. Konsumennya tidak hanya masyarakat Bali tapi juga tamu mancanegara yang datang ke Bali, khususnya pada tempat-tempat tertentu seperti di hotel dan rumah makan atau restoran.

budaya suku batak

Artikel Suku Batak

16 Des
SEJARAH
 Versi sejarah mengatakan Si Raja Batak dan rombongannya datang dari Thailand, terus ke Semenanjung Malaysia lalu menyeberang ke Sumatera dan menghuni Sianjur Mula Mula, lebih kurang 8 km arah Barat Pangururan, pinggiran Danau Toba sekarang. Versi lain mengatakan, dari India melalui Barus atau dari Alas Gayo berkelana ke Selatan hingga bermukim di pinggir Danau Toba.
 Diperkirakan Si Raja Batak hidup sekitar tahun 1200 (awal abad ke-13). Raja Sisingamangaraja XII salah satu keturunan Si Raja Batak yang merupakan generasi ke-19 (wafat 1907), maka anaknya bernama Si Raja Buntal adalah generasi ke-20.
Batu bertulis (prasasti) di Portibi bertahun 1208 yang dibaca Prof. Nilakantisasri (Guru Besar Purbakala dari Madras, India) menjelaskan bahwa pada tahun 1024 kerajaan COLA dari India menyerang SRIWIJAYA yang menyebabkan bermukimnya 1.500 orang TAMIL di Barus.
Pada tahun 1275 MOJOPAHIT menyerang Sriwijaya, hingga menguasai daerah Pane, Haru, Padang Lawas. Sekitar rahun 1.400 kerajaan NAKUR berkuasa di sebelah Timur Danau Toba, Tanah Karo dan sebagian Aceh.
Dengan memperhatikan tahun tahun dan kejadian di atas diperkirakan:Si Raja Batak adalah seorang aktivis kerajaan dari Timur Danau Toba (Simalungun sekarang), dari Selatan Danau Toba (Portibi) atau dari Barat Danau Toba (Barus) yang mengungsi ke pedalaman, akibat terjadi konflik dengan orang-orang Tamil di Barus. •Akibat serangan Mojopahit ke Sriwijaya, Si Raja Batak yang ketika itu pejabat Sriwijaya yang ditempatkan di Portibi, Padang Lawas dan sebelah Timur Danau Toba (Simalungun).Sebutan Raja kepada Si Raja Batak diberikan oleh keturunannya karena penghormatan, bukan karena rakyat menghamba kepadanya.
Demikian halnya keturunan Si Raja Batak seperti Si Raja Lontung, Si Raja Borbor, Si Raja Oloan, dsb. Meskipun tidak memiliki wilayah kerajaan dan rakyat yang diperintah.
Selanjutnya menurut buku TAROMBO BORBOR MARSADA anak Si Raja Batak ada 3 (tiga) orang yaitu : GURU TETEABULAN, RAJA ISUMBAON dan TOGA LAUT. Dari ketiga orang inilah dipercaya terbentuknya Marga-marga Batak.
LEGENDA SI RAJA BATAK

 Konon di atas langit (banua ginjang, nagori atas) adalah seekor ayam bernama Manuk Manuk Hulambujati (MMH) berbadan sebesar kupu-kupu besar, namun telurnya sebesar periuk tanah. MMH tidak mengerti bagaimana dia mengerami 3 butir telurnya yang demikian besar, sehingga ia bertanya kepada Mulajadi Na Bolon (Maha Pencipta) bagaimana caranya agar ketiga telur tsb menetas.
 Mulajadi Na Bolon berkata, “Eramilah seperti biasa, telur itu akan menetas!” Dan ketika menetas, MMH sangat terkejut karena ia tidak mengenal ketiga makhluk yang keluar dari telur tsb. Kembali ia bertanya kepada Mulajadi Nabolon dan atas perintah Mulajadi Na Bolon, MMH memberi nama ketiga makhluk (manusia) tsb. Yang pertama lahir diberi nama TUAN BATARA GURU, yang kedua OMPU TUAN SORIPADA, dan yang ketiga OMPU TUAN MANGALABULAN, ketiganya adalah lelaki.
Setelah ketiga putranya dewasa, ia merasa bahwa mereka memerlukan seorang pendamping wanita. MMH kembali memohon dan Mulajadi Na Bolon mengirimkan 3 wanita cantik : SIBORU PAREME untuk istri Tuan Batara Guru, yang melahirkan 2 anak laki laki diberi nama TUAN SORI MUHAMMAD, dan DATU TANTAN DEBATA GURU MULIA dan 2 anak perempuan kembar bernama SIBORU SORBAJATI dan SIBORU DEAK PARUJAR. Anak kedua MMH, Tuan Soripada diberi istri bernama SIBORU PAROROT yang melahirkan anak laki-laki bernama TUAN SORIMANGARAJA sedangkan anak ketiga, Ompu Tuan Mangalabulan, diberi istri bernama SIBORU PANUTURI yang melahirkan TUAN DIPAMPAT TINGGI SABULAN.
Dari pasangan Ompu Tuan Soripada-Siboru Parorot, lahir anak ke-5 namun karena wujudnya seperti kadal, Ompu Tuan Soripada menghadap Mulajadi Na Bolon (Maha Pencipta). “Tidak apa apa, berilah nama SIRAJA ENDA ENDA,” kata Mulajadi Na Bolon. Setelah anak-anak mereka dewasa, Ompu Tuan Soripada mendatangi abangnya, Tuan Batara Guru menanyakan bagaimana agar anak-anak mereka dikawinkan.
“Kawin dengan siapa? Anak perempuan saya mau dikawinkan kepada laki-laki mana?” tanya Tuan Batara Guru.
“Bagaimana kalau putri abang SIBORU SORBAJATI dikawinkan dengan anak saya Siraja Enda Enda. Mas kawin apapu akan kami penuhi, tetapi syaratnya putri abang yang mendatangi putra saya,” kata Tuan Soripada agak kuatir, karena putranya berwujud kadal.
Akhirnya mereka sepakat. Pada waktu yang ditentukan Siboru Sorbajati mendatangai rumah Siraja Enda Enda dan sebelum masuk, dari luar ia bertanya apakah benar mereka dijodohkan. Siraja Enda Enda mengatakan benar, dan ia sangat gembira atas kedatangan calon istrinya. Dipersilakannya Siboru Sorbajati naik ke rumah. Namun betapa terperanjatnya Siboru Sorbajati karena lelaki calon suaminya itu ternyata berwujud kadal.
Dengan perasaan kecewa ia pulang mengadu kepada abangnya Datu Tantan Debata.
“Lebih baik saya mati daripada kawin dengan kadal,” katanya terisak-isak.
“Jangan begitu adikku,” kata Datu Tantan Debata. “Kami semua telah menyetujui bahwa itulah calon suamimu. Mas kawin yang sudah diterima ayah akan kita kembalikan 2 kali lipat jika kau menolak jadi istri Siraja Enda Enda.”
Siboru Sorbajati tetap menolak. Namun karena terus-menerus dibujuk, akhirnya hatinya luluh tetapi kepada ayahnya ia minta agar menggelar “gondang” karena ia ingin “manortor” (menari) semalam suntuk.
Permintaan itu dipenuhi Tuan Batara Guru. Maka sepanjang malam, Siboru Sorbajati manortor di hadapan keluarganya.
Menjelang matahari terbit, tiba-tiba tariannya (tortor) mulai aneh, tiba-tiba ia melompat ke “para-para” dan dari sana ia melompat ke “bonggor” kemudian ke halaman dan yang mengejutkan tubuhnya mendadak tertancap ke dalam tanah dan hilang terkubur!
Keluarga Ompu Tuan Soripada amat terkejut mendengar calon menantunya hilang terkubur dan menuntut agar Keluarga Tuan Batara Guru memberikan putri ke-2 nya, Siboru Deak Parujar untuk Siraja Enda Enda.
Sama seperti Siboru Sorbajati, ia menolak keras. “Sorry ya, apa lagi saya,” katanya.
Namun karena didesak terus, ia akhirnya mengalah tetapi syaratnya orang tuanya harus menggelar “gondang” semalam suntuk karena ia ingin “manortor” juga. Sama dengan kakaknya, menjelang matahari terbit tortornya mulai aneh dan mendadak ia melompat ke halaman dan menghilang ke arah laut di benua tengah (Banua Tonga).
Di tengah laut ia digigit lumba-lumba dan binatang laut lainnya dan ketika burung layang-layang lewat, ia minta bantuan diberikan tanah untuk tempat berpijak.
Sayangnya, tanah yang dibawa burung layang-layang hancur karena digoncang NAGA PADOHA.
Siboru Deak Parujar menemui Naga Padoha agar tidak menggoncang Banua Tonga.
“OK,” katanya. “Sebenarnya aku tidak sengaja, kakiku rematik. Tolonglah sembuhkan.”
Siboru Deak Parujar berhasil menyembuhkan dan kepada Mulajadi Na Bolon dia meminta alat pemasung untuk memasung Naga Padoha agar tidak mengganggu. Naga Padoha berhasil dipasung hingga ditimbun dengan tanah dan terbenam ke benua tengah (Banua Toru). Bila terjadi gempa, itu pertanda Naga Padoha sedang meronta di bawah sana.
Alkisah, Mulajadi Na Bolon menyuruh Siboru Deak Parujar kembali ke Benua Atas.
Karena lebih senang tinggal di Banua Tonga (bumi), Mulajadi Na Bolon mengutus RAJA ODAP ODAP untuk menjadi suaminya dan mereka tinggal di SIANJUR MULA MULA di kaki gunung Pusuk Buhit.
Dari perkawinan mereka lahir 2 anak kembar : RAJA IHAT MANISIA (laki-laki) dan BORU ITAM MANISIA (perempuan).
Tidak dijelaskan Raja Ihat Manisia kawin dengan siapa, ia mempunyai 3 anak laki laki : RAJA MIOK MIOK, PATUNDAL NA BEGU dan AJI LAPAS LAPAS. Raja Miok Miok tinggal di Sianjur Mula Mula, karena 2 saudaranya pergi merantau karena mereka berselisih paham.
Raja Miok Miok mempunyai anak laki-laki bernama ENGBANUA, dan 3 cucu dari Engbanua yaitu : RAJA UJUNG, RAJA BONANG BONANG dan RAJA JAU. Konon Raja Ujung menjadi leluhur orang Aceh dan Raja Jau menjadi leluhur orang Nias. Sedangkan Raja Bonang Bonang (anak ke-2) memiliki anak bernama RAJA TANTAN DEBATA, dan anak dari Tantan Debata inilah disebut SI RAJA BATAK, YANG MENJADI LELUHUR ORANG BATAK DAN BERDIAM DI SIANJUR MULA MULA DI KAKI GUNUNG PUSUK BUHIT!
 DESKRIPSI LOKASI
 Suku bangsa Batak dari Pulau Sumatra Utara. Daerah asal kediaman orang Batak dikenal dengan Daratan Tinggi Karo, Kangkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu, Simalungun, Toba, Mandailing dan Tapanuli Tengah. Daerah ini dilalui oleh rangkaian Bukit Barisan di daerah Sumatra Utara dan terdapat sebuah danau besar dengan nama Danau Toba yang menjadi orang Batak. Dilihat dari wilayah administrative, mereka mendiami wilayah beberapa Kabupaten atau bagaian dari wilayah Sumatra Utara. Yaitu Kabupaten Karo, Simalungun, Dairi, Tapanuli Utara, dan Asahan.
 
UNSUR BUDAYA
A. Bahasa

Dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari, orang Batak menggunakan beberapa logat, ialah: (1)Logat Karo yang dipakai oleh orang Karo; (2) Logat Pakpak yang dipakai oleh Pakpak; (3) Logat Simalungun yang dipakai oleh Simalungun; (4) Logat Toba yang dipakai oleh orang Toba, Angkola dan Mandailing.
 B. Pengetahuan
Orang Batak juga mengenal sistem gotong-royong kuno dalam hal bercocok tanam. Dalam bahasa Karo aktivitas itu disebut Raron, sedangkan dalam bahasa Toba hal itu disebut Marsiurupan. Sekelompok orang tetangga atau kerabat dekat bersama-sama mengerjakan tanah dan masing-masing anggota secara bergiliran. Raron itu merupakan satu pranata yang keanggotaannya sangat sukarela dan lamanya berdiri tergantung kepada persetujuan pesertanya.
 
C. Teknologi
Masyarakat Batak telah mengenal dan mempergunakan alat-alat sederhana yang dipergunakan untuk bercocok tanam dalam kehidupannya. Seperti cangkul, bajak (tenggala dalam bahasa Karo), tongkat tunggal (engkol dalam bahasa Karo), sabit (sabi-sabi) atau ani-ani. Masyarakat Batak juga memiliki senjata tradisional yaitu, piso surit (sejenis belati), piso gajah dompak (sebilah keris yang panjang), hujur (sejenis tombak), podang (sejenis pedang panjang). Unsur teknologi lainnya yaitukain ulos yang merupakan kain tenunan yang mempunyai banyak fungsi dalam kehidupan adat Batak.
D. Organisasi Sosial
a. Perkawinan
Pada tradisi suku Batak seseorang hanya bisa menikah dengan orang Batak yang berbeda klan sehingga jika ada yang menikah dia harus mencari pasangan hidup dari marga lain selain marganya. Apabila yang menikah adalah seseorang yang bukan dari suku Batak maka dia harus diadopsi oleh salah satu marga Batak (berbeda klan). Acara tersebut dilanjutkan dengan prosesi perkawinan yang dilakukan di gereja karena mayoritas penduduk Batak beragama Kristen.
Untuk mahar perkawinan-saudara mempelai wanita yang sudah menikah.
         
b. Kekerabatan
Kelompok kekerabatan suku bangsa Batak berdiam di daerah pedesaan yang disebut Huta atau Kuta menurut istilah Karo. Biasanya satu Huta didiami oleh keluarga dari satu marga.Ada pula kelompok kerabat yang disebut marga taneh yaitu kelompok pariteral keturunan pendiri dari Kuta. Marga tersebut terikat oleh simbol-simbol tertentu misalnya nama marga. Klen kecil tadi merupakan kerabat patrilineal yang masih berdiam dalam satu kawasan. Sebaliknya klen besar yang anggotanya sdah banyak hidup tersebar sehingga tidak saling kenal tetapi mereka dapat mengenali anggotanya melalui nama marga yang selalu disertakan dibelakang nama kecilnya, Stratifikasi sosial orang Batak didasarkan pada empat prinsip yaitu : (a) perbedaan tigkat umur, (b) perbedaan pangkat dan jabatan, (c) perbedaan sifat keaslian dan (d) status kawin.
c Mata Pencaharian

Pada umumnya masyarakat batak bercocok tanam padi di sawah dan ladang. Lahan didapat dari pembagian yang didasarkan marga. Setiap kelurga mandapat tanah tadi tetapi tidak boleh menjualnya. Selain tanah ulayat adapun tanah yang dimiliki perseorangan .
Perternakan juga salah satu mata pencaharian suku batak antara lain perternakan kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, dan bebek. Penangkapan ikan dilakukan sebagian penduduk disekitar danau Toba.
Sektor kerajinan juga berkembang. Misalnya tenun, anyaman rotan, ukiran kayu, temmbikar, yang ada kaitanya dengan pariwisata.
d. Kesenian
Seni Tari yaitu Tari Tor-tor (bersifat magis); Tari serampang dua belas (bersifat hiburan). Alat Musik tradisional : Gong; Saga-saga. Hasil kerajinan tenun dari suku batak adalah kain ulos. Kain ini selalu ditampilkan dalam upacara perkawinan, mendirikan rumah, upacara kematian, penyerahan harta warisan, menyambut tamu yang dihormati dan upacara menari Tor-tor. Kain adat sesuai dengan sistem keyakinan yang diwariskan nenek moyang .
e. Makanan & Minuman
 
(dengke naniarsik: Makanan Khas Suku Batak)
  
 
(Tuak: Minuman Khas Suku Batak)

E.NAMA KUMPULAN
Suku Batak terdiri dari beberapa sub suku yang berdiam di wilayah Sumatera Utara,  khususnya Tapanuli.
Sub suku Batak adalah:
Suku Batak Silindung
Suku Batak Samosir
Suku Batak Humbang
Suku Batak Toba
Wilayah Bermukim
Dalam tata pemerintahan Republik Indonesiayang mengikuti tata pemerintahan KolonialBelanda, setiap sub suku berdiam dalam satu kedemangan yang kemudian dirubah menjadi kabupaten setelah Indonesiamerdeka.
Sub suku Batak Toba berdiam di Kabupaten Tobasa yang wilayahnya meliputi Balige, Laguboti, Porsea, serta Ajibata (berbatasan dengan Parapat).
Sub suku Batak Samosir berdiam di Kabupaten Samosir yang wilayahnya meliputi Tele, Baneara, Pulau Samosir, dan sekitarnya.
Sub suku Batak Humbang berdiam di Kabupaten Humbang Hasundutan dan Tapanuli Utara bagian utara yang wilayahnya meliputi Dolok Sanggul, Siborongborong, Lintongnihuta, serta Parlilitan.
Sub suku Batak Silindung berdiam di Kabupaten Tapanuli Utara yang wilayahnya meliputi Tarutung, Sipoholon, Pahae, dan sekitarnya.Suku bangsa Batak pun saat ini telah banyak tersebar ke seluruh daerah Indonesia bahkan luar negeri.
F. Kepercayaan

Batak telah menganut agama Kristen Protestan yang disiarkan oleh para Missionaris dari Jerman yang bernama Nomensen pada tahun 1863. Gereja yang pertama berdiri adalah HKBP (Huria Kristen Batak Protestan)di huta Dame, Tarutung. Sekarang inigereja HKBP ada dimana-mana di seluruh Indonesia yang jemaatnya mayoritas sukuBatak (Silindung-Samosir-Humbang-Toba).Sebelum suku Batak menganut agamaKristen Protestan, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentangMulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaanNya terwujud dalam Debata Natolu.
Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak mengenal tiga konsep, yaitu:
Tondi
Tondi adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
Sahala
Sahala adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
Begu
Begu adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.
Beberapa begu yang ditakuti oleh orang Batak, yaitu:
Sombaon, yaitu begu yang bertempat tinggal di pegunungan atau di hutan rimba yang gelap dan mengerikan.
Solobean, yaitu begu yang dianggap penguasa pada tempat tempat tertentu
Silan, yaitu begu dari nenek moyang pendiri huta/kampung dari suatu marga
Begu Ganjang, yaitu begu yang sangat ditakuti, karena dapat membinasakan orang lain menurut perintah pemeliharanya.
Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam pustaha, yang walaupun sudah menganut agama Kristen, dan berpendidikan tinggi. Namun orang Batak belum mau meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati sanubari mereka. Ada juga kepercayaan yang ada di Tarutung tentang ular(ulok) dengan boru Hutabarat bahwa boru Hutabarat tidak boleh dikatakan cantik di Tarutung. Apabila dikatakan cantik maka nyawa wanita tersebut tidak akan lama lagi, menurut kepercayaan orang itu.
• Tarombo
Silsilah atau Tarombo merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak kesasar (nalilu). Orang Batak khusunya kaum Adam diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.
G.Falsafah Batak

Secara umum, suku Batak memiliki falsafah adat Dalihan Natolu yakni Somba Marhulahula (hormat pada pihak keluarga ibu/istri), Elek Marboru (ramah pada keluarga saudara perempuan) dan Manat Mardongan Tubu (kompak dalam hubungan semarga). Dalam kehidupan sehari-hari, falsafah ini dipegang teguh dan hingga kini menjadi landasan kehidupan sosial dan bermasyarakat di lingkungan orang Batak (Silindung-Samosir-Humbang-Toba).
Batak pada era modern
Sejarah Batak modern dipengaruhi oleh dua agama Samawi yakni Islam dan Kristen. Islam makin kuat pengaruhnya pada saat Perang Padri, melalui aktivitas dakwah yang dilakukan para da’i dari dari negeri Minang. Perluasan penyebaran agama Islam juga pernah memasuki hingga ke daerah Tapanuli Utara dibawah pimpinanTuanku Rao dari Sumatera Barat, namun tidak begitu berhasil. Islam lebih berkembang di kalangan MandailingPadang Lawas, dan sebagian Angkola.
Agama Kristen baru berpengaruh di kalangan Angkola dan Batak (Silindung-Samosir-Humbang-Toba) setelah beberapa kali misi Kristen yang dikirimkan mengalami kegagalan. Misionaris yang paling berhasil adalah I.L. Nommensen yang melanjutkan tugas pendahulunya menyebarkan agama Kristen di wilayah Tapanuli. Ketika itu, masyarakat Batak yang berada di sekitar Tapanuli, khususnya Tarutung, diberi pengajaran baca tulis, keahlian bertukang untuk kaum pria dan keahlian menjahit serta urusan rumah tangga bagi kaum ibu. Pelatihan dan pengajaran ini kemudian berkembang hingga akhirnya berdiri sekolah dasar dan sekolah keahlian di beberapa wilayah di Tapanuli. Nommensen dan penyebar agama lainnya juga berperan besar dalam pembangunan dua rumah sakit yang ada saat ini, RS Umum Tarutung dan RS HKBP Balige, yang sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka.
Sementara itu, perkembangan pendidikan formal juga terus berlanjut hingga dibukanya sebuah perguruan tinggi bernama Universitas HKBP I.L. Nommensen(UHN) tahun 1954. Universitas ini menjadi universitas swasta pertama yang ada diSumatra Utara dan awalnya hanya terdiri dari Fakultas Ekonomi dan Fakultas Theologia.
H. NILAI BUDAYA
1. Kekerabatan
Nilai kekerabatan masyarakat Batak utamanya terwujud dalam pelaksanaan adat Dalian Na Talu, dimana seseorang harus mencari jodoh diluar kelompoknya, orang-orang dalam satu kelompok saling menyebut Sabutuha (bersaudara), untuk kelompok yang menerima gadis untuk diperistri disebut Hula-hula. Kelompok yang memberikan gadis disebut Boru.
2. Hagabeon
Nilai budaya yang bermakna harapan panjang umur, beranak, bercucu banyak, dan yang baik-baik.
3. Hamoraan
Nilai kehormatan suku Batak yang terletak pada keseimbangan aspek spiritual dan meterial.
4. Uhum dan ugari
Nilai uhum orang Batak tercermin pada kesungguhan dalam menegakkan keadilan sedangkan ugari terlihat dalam kesetiaan akan sebuah janji.
5. Pengayoman
Pengayoman wajib diberikan terhadap lingkungan masyarakat, tugas tersebut di emban oleh tiga unsur Dalihan Na Tolu.
6. Marsisarian
Suatu nilai yang berarti saling mengerti, menghargai, dan saling membantu.
I. ASPEK PEMBANGUNAN

Aspek pembangunan dari suku Batak yaitu masuknya sistem sekolah dan timbulnya kesempatan untuk memperoleh prestise social. Terjadinya jaringan hubungan kekerabatan yang berdasarkan adat dapat berjalan dengan baik. Adat itu sendiri bagi orang Batak adalah suci. Melupakan adat dianggap sangat berbahaya.
Pengakuan hubungan darah dan perkawinan memperkuat tali hubungan dalam kehidupan sehari-hari. Saling tolong menolong antara kerabat dalam dunia dagang dan dalam lapangan ditengah kehidupan kota modern umum terlihat dikalangan orang Batak. Keketatan jaringan kekerabatan yang mengelilingi mereka itulah yang memberi mereka keuletan yang luar biasa dalam menjawab berbagai tantangan dalam abad ini.